Riset AJI & IFJ Terbaru

Kekerasan Masih Mengancam Jurnalis

Ilustrasi kekerasan jurnalis. (AntaraNews/ar)

JAKARTA- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan International Federation of Journalists (IFJ) telah menggelar riset keamanan jurnalis dan kondisi kerja di negara-negara Asia Tenggara. Hasilnya, kekerasan terhadap kerja-kerja jurnalistik masih menjadi ancaman terbesar jurnalis di Indonesia.

Studi bertajuk Holding the Line: South East Asia Media Freedom Report 2019 ini menjelaskan, 67 persen dari total responden merasa tidak aman. Kekerasan, baik fisik dan non fisik tetap menjadi ancaman serius bagi jurnalis di Indonesia. Adapaun jumlah responden riset ini sebanyak 511 jurnalis dari Indonesia.

Lihat saja kericuhan aksi demostrasi massa di Jakarta pada 21-22 Mei lalu. AJI Jakarta mencatat sedikitnya 20 jurnalis mengalami kekerasan di beberapa titik kerusuhan. Tingginya angka korban yang terjadi pada dua hari itu, menjadikan insiden ini sebagai kasus terburuk sejak reformasi.

"Tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis ini disebabkan karena tidak adanya penanganan kasus oleh aparat,” kata Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim dalam keterangan resminya, (25/11).

Bentuk ancaman lain yang terjadi saat ini, adalah doxing -pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis tidak sesuai dengan aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya melalui media sosial untuk tujuan negatif- juga dialami jurnalis.

Persoalan upah yang rendah dan kondisi bekerja, juga masih menjadi bentuk ancaman non fisik lain yang membayangi profesi jurnalis di Indonesia. Kendati jurnalis masih rentan terhadap kekerasan dan ancaman, studi menunjukkan, bahwa upaya pemerintah untuk melindungi jurnalis justru masih rendah.

Selain itu, AJI mendorong perusahaan media agar menyediakan alat pelindung dan keselamatan kerja kepada jurnalis, sebelum menugaskan mereka meliput aksi-aksi di medan berbahaya.

AJI juga mengingatkan perusahaan media, bahwa perlindungan dan keselamatan jurnalis serta penanganan kasus kekerasan, merupakan tanggung jawab perusahaaan media.

Karena itu, perusahaan sudah selayaknya menjadi garda terdepan dalam mendampingi korban hingga kasusnya selesai sesuai sesuai mekanisme Undang Undang Pers. Bukan sebaliknya perusahaan malah menghentikan proses pelaporan kasus dan menghambat penanganan kasusnya.

"Karena itu AJI mendorong Kapolri yang baru untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, baik pelakunya dari pihak non negara maupun negara. Hal ini penting supaya dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan dan mencegah kasus serupa terulang kembali," kata Sasmito.

Selain menyoroti mengenai bentuk ancaman terhadap jurnalis, riset ini juga membahas mengenai situasi kebebasan media. Di Indonesia, hasil riset menunjukkan bahwa situasi kebebasan media di Indonesia stagnan.

Faktor utama yang mendorong hal ini adalah kepemilikan media. Ditambah faktor lain seperti etika jurnalistik dan profesionalitas jurnalisme, kebijakan pemerintah dan legislasi, serta aktor politik dan negara juga memberikan pengaruh terhadap rendahnya kebebasan media di Indonesia.

Direktur IFJ Asia Pasifik Jane Worthington mengatakan bahwa peningkatan kekerasan terhadap jurnalis termasuk kekerasan online menunjukkan, bahwa situasi di level regional masih sangat mengancam bagi jurnalis dalam menjalankan pekerjaan.

“Kita melihat jurnalis diserang, menjadi korban doxing, ditahan atau dituntut karena pencemaran nama baik, hanya karena para jurnalis ini bekerja melayani kepentingan publik,” katanya.

Worthington berharap riset ini dapat menjadi bagian dari advokasi untuk jurnalis dan serikat pekerja untuk terus melawan dan mendesak perubahan guna memperkuat kebebasan media dan demokrasi.


[Ikuti Zonapekan.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar