Indonesia Akhirnya Bisa Impor Bahan Baku Masker dari Turki

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. (Foto: ANTARA)

JAKARTA – Indonesia menjalin kerja sama dengan Turki dalam pengadaan bahan baku alat kesehatan yang dibutuhkan dalam menghadapi wabah virus corona (Covid-19). RI akan mengimpor kain melt blown, yaitu lembaran serat untuk bahan baku pembuatan masker, dari negeri seribu masjid itu.

“Pemerintah Turki sudah memberikan dukungan untuk bahan baku pembuatan masker yaitu melt blown,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat menyampaikan keterangan pers melalui konferensi video di Jakarta, Jumat (17/4/2020).

Turki sebelumnya sempat mengeluarkan larangan ekspor untuk bahan baku dan peralatan medis sejak negara itu mulai menghadapi wabah virus corona atau Covid-19, Maret lalu. Di saat yang sama, negara itu masih memproduksi masker dan bahan baku masker, juga PCR, test kit, sanitizer, ventilator, hingga alat pelindung diri dalam jumlah besar.

“Sejak awal Maret Turki mengeluarkan larangan ekspor produk-produk tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk bantuan yang sejauh ini mereka sudah kirim ke 34 negara,”ujar Duta Besar RI untuk Turki, Lalu Muhamad Iqbal, saat dihubungi melalui pesan singkat.

“Yang dibutuhkan Indonesia adalah pengecualian untuk impor beberapa produk itu, dan pemerintah Turki (setuju) akan fasilitasi,” ucap Iqbal melanjutkan.

Di tengah pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia semakin mengintensifkan kerja sama internasional guna memenuhi pasokan medis yang sangat dibutuhkan oleh para pekerja kesehatan maupun pasien. Selain dengan Turki, Indonesia juga menjalin kerja sama impor bahan baku obat dari India.

“Permintaan untuk mengimpor bahan baku obat berupa hidroklorokuin sulfat telah disetujui pemerintah India. Untuk itu, saya berterima kasih kepada Perdana Menteri (Narendra) Modi,” ujar Menlu Retno, dikutip dari inews.id.

Penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin untuk pengobatan Covid-19 telah dikaji oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama Komite Nasional Penilai Obat, farmakolog, dan klinisi lain. Kajian itu tetap dengan memperhatikan manajemen penggunaan obat tersebut di negara seperti China dan Singapura, serta pertimbangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).


[Ikuti Zonapekan.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar